Perspektif
Pemodelan Matematika dalam Pengajaran dan Pembelajaran Matematika
Pemodelan Matematika
dalam Penelitian ini Menggunakan Perpektif berikut ini
Penelitian ini menggunakan PMRI sebagai payung (umbrella) dalam mendesain soal Pemodelan Matematika
1.
Pemodelan
Matematika: Perspektif Soail-Kritikal
1.2 Nilai Pemodelan Matematika
Pendekatan pemodelan
matematika untuk pengajaran mengizinkan untuk jenis nilai eksplorasi dalam
matematika yang tidak ada sampai sekarang. Zbiek dan Conner (2006) menggambarkan tujuan dari
pemodelan matematika adalah untuk
a. Menyediakan
siswa untuk mendesain kekuatan model,
b. Menyediakan
mereka dengan alternatif dan mengajar pengaturan yang mana siswa belajar
c. Memotivasi
siswa dengan menunjukkan mereka keaplikasian dunia nyata, dan
d. Menyediakan
mereka dengan kesempata untuk mengintegrasikan matematika dengan area lain dari
kurikulum
1.3 Tujuan Pendidikan
Pemodelan
matematika menjadikan pembelajaran lebih bermakna (Knott, 2014). Ini
berimplikasi untuk memotivasi dan positif dalam kelas matematika (Blum, 1993).
Ketika matematika dihubungkan dengan realitas, ia menyediakan pengalaman yang
relevan dengan pengalaman siswa dan relevan dengan masyarakat (Van den
Hauvel-Panhuizen & Wijers, 2005). Pemodelan matematika adalah sebuah awal
dari pentingnya tujuan pendidikan.
2.
Pemodelan
Matematika: Perspektif Kontekstual
Dalam area kehidupan, kita
dihadapkan dengan tantangan baru (Knott, 2014). Area luar matematika
berhubungan dengan sains atau konteks dimana matematika dapat diterapkan.
Pembelajaran matematika harus ditekankan dengan fleksibel dan tidak masalah matematika
spesifik (Brown, 2008; Kaiser & Schwarz, 2006). Menurut Knott (2014) bahwa
hasil dari bentukan ketika masalah spesifik matematika diajarkan akan menjadi peniru teori matematika bukannya pemikir matematika yang sangat
dibutuhkan.
3.
Pemodelan
Matematika: Sebuah Perspektif Pendidikan
3.1
Fokus
kembali pendidikan matematika
Knott (2014) menyatakan bahwa
pendidikan matematika di sekolah harus difokuskan pada desain holistik
pengajaran dan pembelajaran: sebuah desain berdasarkan pada perspektif berbeda untuk
menemukan standar pengajaran siswa yang mempunyai pengalaman matematika berbeda
dan mempunyai kemampuan matematika berbeda.
3.2
Pengaruh
pada Afektif
Pembelajaran pemodelan matematika akan
berpengaruh terhadap afektif seperti sikap, keyakinan, emosi, nilai, motivasi,
perasaan, suasana hati, konsepsi, ketertarikan, kecemasan, dan pandangan.
3.3 Pemodelan Didaktik
Kemampuan memecahkan masalah
matematika lebih berharga mempunyai pengetahun tetapi kurang kompetensi untuk
menerapkan pengetahuan itu (Knott, 2014). Jika siswa diperkenalkan dengan
konsep baru, pengembangan konsepnya didasarkan pada pengalaman matematika mirip
sebelumnya.
3.4 Pemodelan Konseptual
Konsep pemodelan matematika
mempunyai keuntungan tidak hanya mengembangkan dan mengkonstruk pengetahuan
matematika, tetapi jugamengembangkan keterampilan dan berpikir matematika.
Pemodelan matematika di level pembentukan konsep meliputi pembelejaran aktual
dan pemahaman matematika dengan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai (Knott, 2014).
3.5 Proses Pemodelan Matematika
Siklus pemodelan matematika dari
perspektif kognitif digunakan untuk penjelasan lanjutan proses pemodelan dari
masalah dunia nyata ke interpretasi solusi. Ini memberikan sebuah tampilan
jelas dari semua kompetensi dan sub-kompetensi penting selama siklus pemodelan.
3.6 Kompetensi Pemodelan Matematika
Kompetensi pemodelan matematika
meliputi keterampilan dan pengetahuan dipandang penting ketika bekerja melalui
semua langkah dalam proses pemodelan (Blomhoj, & Kjeldsen, 2006).
3.7 Melihat lebih dekat Kompetensi
Pemodelan Matematika
Untuk membuat penggunaan proses
pemodelan secara sukses penuh sub-kompetensi membutuhkan untuk dikembangkan.
4.
Pemodelan
Matematika: Sebuah Perspektif Kognitif
4.1.
Proses
Kognitif selama Pemodelan Matematika
Pendekatan Pemodelan matematika
meningkatkan pemahaman (sense making)
(Mousolulides, 2009). Masalah Pemodelan matematika mempromosikan pemahaman
sehingga menumbuhkan pemahman, sehingga tidak ada mengingat jawaban dan tidak
ada solusi “benar”.
4.2.
Pengembangan
Konseptual
Struktur kognitif dalam pemikiran
manusia diasosiasikan dengan gambaran konsep dimana adalah semua representasi
mental itudan proses mengenai konsep (Tall, 1988). Menurut Tall (1988) bahwa
ketika siswa menemukan sebuah konsep lama dalam sebuah konteks baru, itu adalah
gambaran konsep dengan semua asumsinya dan bukan definisi konsep yang
mempengaruhi soal/tugas baru.
4.3.
Sistem
Konseptual
Sfard & Linchevski (1994)
menyatakan bahwa kesulitan pengalaman seorang ketikaa dia diperkenalkan sebuah
konsep matematika baru. Ini diketahui sebagai kemampuan memverifikasi. Melalui
reifikasi (proses memverifikasi) pembelajaran lebih bermakna dan proses
mendapatkan lebih cepat (Knott, 2014). Ketika siswa tidak mengerti, itu berarti
dia tidak memverifikasi. Proses memverifikasi (reifikasi) adalah ketika seorang
pelajar mengubah objek abstrak menjadi objek konkret.
4.4.
Berpikir
Matematika Lanjutan
Siswa seharusnya membangun berpikir
matematika informal untuk mengambangkan berpikir matematika formal (Knott,
2014).
5.
Pemodelan
Matematika: Sebuah Perspektif Sosial-Budaya
Fokus
pada representasi eksternal dan internal yang dipengaruhi oleh budaya ketika
siswa do mathematics. Representasi
internal meliputi representasi mental dan komputasi (Hesselbart, 2007). Goldin
(2002) menyatakan bahasa asli, simbol pribadi, gambaran visual dan spasial, heuristik
pemecahan masalah dan afektif sebagai representasi internal dari seorang siswa
yang menyelesaikan masalah matematika. representasi Semiotik adalah
representasi eksternal digunakan untuk mengakses objek matematika (Duval,
1999). Representasi eksternal dapat mempunyai beberapa tujuan untuk
menyimbolkan representasi internal (Goldin, 2002). Dalam pemodelan matematika,
ketika siswa mengubah dari representasi semiotik (representasi informasi
sebagai objek/simbol menggunakan pengetahuan budaya) untuk bekerja dengan
simbol (membuat simbol-simbol ini ke dalam istilah matematika menggunakan
strategi reflektif) objektifikasi mengambil tempat.
6.
Pemodelan
Matematika: Perspektif Realistik
Pembelajaran
menjadi pengalaman bermakna ketika siswa bergulat dengan masalah tidak familiar
dan tak terbatas. Pendekatan PMRI, siswa didorong dalam beberapa masalah
realistik yang menyediakan mereka kesempatan untuk membuat konstruksi/model
matematika dengan penemuan kembali mereka (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000).
Pentingnya pemodelan matematika dalam kurikulum matematika adalah untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan sikap (Danusso, et al., 2009).
7.
Pemodelan
Matematika: Sebuah Perspektif Epistemologi
7.1.
Membangun
Model
Tujuan model adalah untuk
menjembatani gap antara level pemahaman
berbeda. Van den Heuvel-Panhuizen (2003) menunjukkan bahwa model dapat
mengakomodasi munculnya level: dari level informal matematika ke level formal
matematika.
7.2.
Pemodelan
Emergent
Pemodelan
emergent adalah proses dinamik dimana
model emergen untuk mendukung emergensi pengetahuan matematika formal (Doorman
& Gravemeijer, 2009).
7.3.
Alam
Matematisasi
Desain pengajaran PMRI
diorganisasikan sehingga siswa dapat mengorganisasi materi pelajaran di satu
level untuk menghasilkan pemahaman baru di sebuah level lebih tinggi (Kwon,
2015).
7.4.
Pendefinisian
Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Matematisasi horizontal dan
vertikal tidak dapat dipisahkan, mereka memiliki proses berbeda. Matematisasi
horizontal adalah penyeberangan antara situasi dunia nyata dan model matematika
dari situasi. Treffers menggambarkan matematisasi horizontal sebagai “berangkat
dari dunia nyata/kehidupan ke dunia simbol (Van den Heuvel-Panhuizen, 2003).
Sedangkan matematika vertikal adalah proses menemukan solusi matematika dari
model matematika yang dikonstruk selama fase matematisasi horizintal (Knott,
2014). Traffers menggambarkan matematisasi vertikal sebagai “bergerak di dalam
dunia simbol” (Van den Heuvel-Panhuizen,
2003).
7.5.
Pengembangan
Kompetensi Matematisasi
Langkah
pertama dari proses pemodelan adalah mengeksplorasi situasi nyata dan
mengidentifikasi syarat dan asumsi dalam konteks dunia nyata, sehingga beberapa
batasan dan pembatasan dinyatakan (Knott, 2014). Sub-kompetensi berhubungan
matematisasi horizontal adalah: membuat asumsi pada masalah dan menyederhanakan
situasi, mengidentifikasi kuantitas yang berpengaruh pada situasi, menamai
mereka, dan mengidentifikasi variabel kunci, mengkonstruk hubungan antara variabel,
mencari informasi tersedia, dan membedakan matematika relevan dan tidak
relevan. Kompetensi dan subkompetensi matematisasi vertikal adalah melakukan
dengan kompetensi menyelesaikan pertanyaan matematika dalam model matematika.
Kompetensi ini dalam proses pemodelan matematika difokuskan pada aktivitas
ketika siswa menggunakan heuristic strategies.
7.6.
Model
untuk Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Pengembangan pengetahuan
terjadi selama transisi dari “model of” ke
situasi lebih umum “model for”.
Progresnya adalah dari level pre-informal, ke informal, , ke pre-formal, dan
akhirnya ke lebih formal.Perspektif Tujuan Pemodelan Matematika
Berbagai perspektif tujuan aplikasi dan pemodelan (Kaiser, 2014), yaitu
1. Tujuan pedagogis: memberikan kemampuan yang memungkinkan siswa untuk memahami aspek-aspek utama dari dunia kita dengan cara yang lebih baik.
2.Tujuan psikologis: membina dan meningkatkan motivasi dan sikap peserta didik menuju matematika dan pengajaran matematika
3. Sasaran terkait mata pelajaran: penataan proses pembelajaran, pengenalan matematika konsep dan metode baru termasuk ilustrasinya
4. Sasaran yang berhubungan dengan sains: memberikan citra matematika yang realistis sebagai sains, memberikan wawasan tentang tumpang tindih pertimbangan matematis dan ekstra matematis dari perkembangan historis matematika.
Dua Pendekatan untuk mengembangkan Kompetensi Pemodelan Matematika
Dua pendekatan berbeda dalam memupuk kompetensi pemodelan matematika dapat dibedakan: pendekatan holistik dan atomistik (Blomhøj dan Jensen 2003). Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa pengembangan kompetensi pemodelan harus dipupuk dengan melakukan proses pemodelan matematika yang lengkap, di mana kompleksitas dan kesulitan masalah harus disesuaikan dengan kompetensi peserta didik. Pendekatan atomistik, bagaimanapun, mengasumsikan bahwa implementasi masalah pemodelan lengkap, terutama di awal, akan terlalu memakan waktu dan tidak cukup efektif dalam mengembangkan kompetensi pemodelan individu.
Blomhøj M, Jensen TH (2003) Developing mathematical modeling competence: conceptual clarification and educational planning. Teach Math Appl, 22(3), 123–139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar