Jumat, 27 Desember 2019

PMRI SEBAGAI PAYUNG (UMBRELLA) PEMODELAN MATEMATIKA

Perspektif Pemodelan Matematika dalam Pengajaran dan Pembelajaran Matematika
Pemodelan Matematika dalam Penelitian ini Menggunakan Perpektif berikut ini
Penelitian ini menggunakan PMRI sebagai payung (umbrella) dalam mendesain soal Pemodelan Matematika
1.        Pemodelan Matematika: Perspektif Soail-Kritikal
1.2  Nilai Pemodelan Matematika
Pendekatan pemodelan matematika untuk pengajaran mengizinkan untuk jenis nilai eksplorasi dalam matematika yang tidak ada sampai sekarang. Zbiek dan  Conner (2006) menggambarkan tujuan dari pemodelan matematika adalah untuk
a.       Menyediakan siswa untuk mendesain kekuatan model,
b.      Menyediakan mereka dengan alternatif dan mengajar pengaturan yang mana siswa belajar
c.       Memotivasi siswa dengan menunjukkan mereka keaplikasian dunia nyata, dan
d.      Menyediakan mereka dengan kesempata untuk mengintegrasikan matematika dengan area lain dari kurikulum
1.3  Tujuan Pendidikan
Pemodelan matematika menjadikan pembelajaran lebih bermakna (Knott, 2014). Ini berimplikasi untuk memotivasi dan positif dalam kelas matematika (Blum, 1993). Ketika matematika dihubungkan dengan realitas, ia menyediakan pengalaman yang relevan dengan pengalaman siswa dan relevan dengan masyarakat (Van den Hauvel-Panhuizen & Wijers, 2005). Pemodelan matematika adalah sebuah awal dari pentingnya tujuan pendidikan.
2.        Pemodelan Matematika: Perspektif Kontekstual
Dalam area kehidupan, kita dihadapkan dengan tantangan baru (Knott, 2014). Area luar matematika berhubungan dengan sains atau konteks dimana matematika dapat diterapkan. Pembelajaran matematika harus ditekankan dengan fleksibel dan tidak masalah matematika spesifik (Brown, 2008; Kaiser & Schwarz, 2006). Menurut Knott (2014) bahwa hasil dari bentukan ketika masalah spesifik matematika diajarkan akan menjadi peniru teori matematika bukannya pemikir matematika yang sangat dibutuhkan.
3.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Pendidikan
3.1     Fokus kembali pendidikan matematika
Knott (2014) menyatakan bahwa pendidikan matematika di sekolah harus difokuskan pada desain holistik pengajaran dan pembelajaran: sebuah desain berdasarkan pada perspektif berbeda untuk menemukan standar pengajaran siswa yang mempunyai pengalaman matematika berbeda dan mempunyai kemampuan matematika berbeda.
3.2     Pengaruh pada Afektif
Pembelajaran pemodelan matematika akan berpengaruh terhadap afektif seperti sikap, keyakinan, emosi, nilai, motivasi, perasaan, suasana hati, konsepsi, ketertarikan, kecemasan, dan pandangan.
3.3  Pemodelan Didaktik
Kemampuan memecahkan masalah matematika lebih berharga mempunyai pengetahun tetapi kurang kompetensi untuk menerapkan pengetahuan itu (Knott, 2014). Jika siswa diperkenalkan dengan konsep baru, pengembangan konsepnya didasarkan pada pengalaman matematika mirip sebelumnya.
3.4  Pemodelan Konseptual
Konsep pemodelan matematika mempunyai keuntungan tidak hanya mengembangkan dan mengkonstruk pengetahuan matematika, tetapi jugamengembangkan keterampilan dan berpikir matematika. Pemodelan matematika di level pembentukan konsep meliputi pembelejaran aktual dan pemahaman matematika dengan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai (Knott, 2014).
3.5  Proses Pemodelan Matematika
Siklus pemodelan matematika dari perspektif kognitif digunakan untuk penjelasan lanjutan proses pemodelan dari masalah dunia nyata ke interpretasi solusi. Ini memberikan sebuah tampilan jelas dari semua kompetensi dan sub-kompetensi penting selama siklus pemodelan.
3.6  Kompetensi Pemodelan Matematika
Kompetensi pemodelan matematika meliputi keterampilan dan pengetahuan dipandang penting ketika bekerja melalui semua langkah dalam proses pemodelan (Blomhoj, & Kjeldsen, 2006).
3.7  Melihat lebih dekat Kompetensi Pemodelan Matematika
Untuk membuat penggunaan proses pemodelan secara sukses penuh sub-kompetensi membutuhkan untuk dikembangkan.
4.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Kognitif
4.1.   Proses Kognitif selama Pemodelan Matematika
Pendekatan Pemodelan matematika meningkatkan pemahaman (sense making) (Mousolulides, 2009). Masalah Pemodelan matematika mempromosikan pemahaman sehingga menumbuhkan pemahman, sehingga tidak ada mengingat jawaban dan tidak ada solusi “benar”.
4.2.   Pengembangan Konseptual
Struktur kognitif dalam pemikiran manusia diasosiasikan dengan gambaran konsep dimana adalah semua representasi mental itudan proses mengenai konsep (Tall, 1988). Menurut Tall (1988) bahwa ketika siswa menemukan sebuah konsep lama dalam sebuah konteks baru, itu adalah gambaran konsep dengan semua asumsinya dan bukan definisi konsep yang mempengaruhi soal/tugas baru.
4.3.   Sistem Konseptual
Sfard & Linchevski (1994) menyatakan bahwa kesulitan pengalaman seorang ketikaa dia diperkenalkan sebuah konsep matematika baru. Ini diketahui sebagai kemampuan memverifikasi. Melalui reifikasi (proses memverifikasi) pembelajaran lebih bermakna dan proses mendapatkan lebih cepat (Knott, 2014). Ketika siswa tidak mengerti, itu berarti dia tidak memverifikasi. Proses memverifikasi (reifikasi) adalah ketika seorang pelajar mengubah objek abstrak menjadi objek konkret.
4.4.   Berpikir Matematika Lanjutan
Siswa seharusnya membangun berpikir matematika informal untuk mengambangkan berpikir matematika formal (Knott, 2014).    
5.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Sosial-Budaya
Fokus pada representasi eksternal dan internal yang dipengaruhi oleh budaya ketika siswa do mathematics. Representasi internal meliputi representasi mental dan komputasi (Hesselbart, 2007). Goldin (2002) menyatakan bahasa asli, simbol pribadi, gambaran visual dan spasial, heuristik pemecahan masalah dan afektif sebagai representasi internal dari seorang siswa yang menyelesaikan masalah matematika. representasi Semiotik adalah representasi eksternal digunakan untuk mengakses objek matematika (Duval, 1999). Representasi eksternal dapat mempunyai beberapa tujuan untuk menyimbolkan representasi internal (Goldin, 2002). Dalam pemodelan matematika, ketika siswa mengubah dari representasi semiotik (representasi informasi sebagai objek/simbol menggunakan pengetahuan budaya) untuk bekerja dengan simbol (membuat simbol-simbol ini ke dalam istilah matematika menggunakan strategi reflektif) objektifikasi mengambil tempat.
6.        Pemodelan Matematika: Perspektif Realistik
Pembelajaran menjadi pengalaman bermakna ketika siswa bergulat dengan masalah tidak familiar dan tak terbatas. Pendekatan PMRI, siswa didorong dalam beberapa masalah realistik yang menyediakan mereka kesempatan untuk membuat konstruksi/model matematika dengan penemuan kembali mereka (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000). Pentingnya pemodelan matematika dalam kurikulum matematika adalah untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan sikap (Danusso, et al., 2009).
7.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Epistemologi
7.1.   Membangun Model
Tujuan model adalah untuk menjembatani gap antara level pemahaman berbeda. Van den Heuvel-Panhuizen (2003) menunjukkan bahwa model dapat mengakomodasi munculnya level: dari level informal matematika ke level formal matematika.
7.2.   Pemodelan Emergent
Pemodelan emergent adalah proses dinamik dimana model emergen untuk mendukung emergensi pengetahuan matematika formal (Doorman & Gravemeijer, 2009).
7.3.   Alam Matematisasi
Desain pengajaran PMRI diorganisasikan sehingga siswa dapat mengorganisasi materi pelajaran di satu level untuk menghasilkan pemahaman baru di sebuah level lebih tinggi (Kwon, 2015).
7.4.   Pendefinisian Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Matematisasi horizontal dan vertikal tidak dapat dipisahkan, mereka memiliki proses berbeda. Matematisasi horizontal adalah penyeberangan antara situasi dunia nyata dan model matematika dari situasi. Treffers menggambarkan matematisasi horizontal sebagai “berangkat dari dunia nyata/kehidupan ke dunia simbol (Van den Heuvel-Panhuizen, 2003). Sedangkan matematika vertikal adalah proses menemukan solusi matematika dari model matematika yang dikonstruk selama fase matematisasi horizintal (Knott, 2014). Traffers menggambarkan matematisasi vertikal sebagai “bergerak di dalam dunia simbol” (Van den Heuvel-Panhuizen, 2003).
7.5.   Pengembangan Kompetensi Matematisasi
Langkah pertama dari proses pemodelan adalah mengeksplorasi situasi nyata dan mengidentifikasi syarat dan asumsi dalam konteks dunia nyata, sehingga beberapa batasan dan pembatasan dinyatakan (Knott, 2014). Sub-kompetensi berhubungan matematisasi horizontal adalah: membuat asumsi pada masalah dan menyederhanakan situasi, mengidentifikasi kuantitas yang berpengaruh pada situasi, menamai mereka, dan mengidentifikasi variabel kunci, mengkonstruk hubungan antara variabel, mencari informasi tersedia, dan membedakan matematika relevan dan tidak relevan. Kompetensi dan subkompetensi matematisasi vertikal adalah melakukan dengan kompetensi menyelesaikan pertanyaan matematika dalam model matematika. Kompetensi ini dalam proses pemodelan matematika difokuskan pada aktivitas ketika siswa menggunakan heuristic strategies.
7.6.   Model untuk Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Pengembangan pengetahuan terjadi selama transisi dari “model of” ke situasi lebih umum “model for”. Progresnya adalah dari level pre-informal, ke informal, , ke pre-formal, dan akhirnya ke lebih formal.

Perspektif Tujuan Pemodelan Matematika
Berbagai perspektif tujuan aplikasi dan pemodelan (Kaiser, 2014), yaitu
1. Tujuan pedagogis: memberikan kemampuan yang memungkinkan siswa untuk memahami aspek-aspek utama dari dunia kita dengan cara yang lebih baik.
2.Tujuan psikologis: membina dan meningkatkan motivasi dan sikap peserta didik menuju matematika dan pengajaran matematika
3. Sasaran terkait mata pelajaran: penataan proses pembelajaran, pengenalan matematika  konsep dan metode baru termasuk ilustrasinya
4. Sasaran yang berhubungan dengan sains: memberikan citra matematika yang realistis sebagai sains, memberikan wawasan tentang tumpang tindih pertimbangan matematis dan ekstra matematis dari perkembangan historis matematika.

Dua Pendekatan untuk mengembangkan Kompetensi Pemodelan Matematika
Dua pendekatan berbeda dalam memupuk kompetensi pemodelan matematika dapat dibedakan: pendekatan holistik dan atomistik (Blomhøj dan Jensen 2003). Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa pengembangan kompetensi pemodelan harus dipupuk dengan melakukan proses pemodelan matematika yang lengkap, di mana kompleksitas dan kesulitan masalah harus disesuaikan dengan kompetensi peserta didik. Pendekatan atomistik, bagaimanapun, mengasumsikan bahwa implementasi masalah pemodelan lengkap, terutama di awal, akan terlalu memakan waktu dan tidak cukup efektif dalam mengembangkan kompetensi pemodelan individu. 

Blomhøj M, Jensen TH (2003) Developing mathematical modeling competence: conceptual clarification and educational planning. Teach Math Appl, 22(3), 123–139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar