Selasa, 31 Desember 2019

DUNIA MATEMATIKA VERSUS DUNIA NYATA

Menurut Pollak (2012) bahwa matematikawan membagi alam semesta dalam dua bagian, yaitu matematika, dan segala sesuatu yang lain, yaitu dunia nyata. Orang sering cenderung melihat keduanya independent (tidak saling mempengaruhi) satu sama lainnya. Ketika Anda menggunakan matematika untuk memahami situasi dunia nyata dan matematika dipakai secara serius.
Menurut Pollak (2012) perbedaan pemodelan matematika dan pemecahan masalah adalah pemecahan masalah boleh tidak berhubungan dengan dunia nyata (dunia di luar matematika).

Susanto (2015) mengungkapkan bahwa salah satu perbedaan matematika dengan dunia nyata adalah pembuktian dalam fisika dan (hampir) semua bidang ilmu di luar matematika dibangun berdasarkan prinsip pengamatan. Ia menyatakan bahwa sebuah teori dikatakan terbukti bila ia sesuai dengan hasil sebuah percobaan atau eksperimen dan hasil yang sama harus bisa didapatkan dengan percobaan atau eksperimen yang dilakukan oleh orang lain (bila perlu di waktu dan tempat berbeda).
Sedangkan di dalam dunia matematika. Kita mengatakan "setiap benda jatuh ke bawah" karena melihat sebuah apel jatuh adalah sebuah pengambilan kesimpulan yang melompat. Menurutnya, contoh "benda jatuh ke bawah" di atas tentu saja sangat kasar karena matematika tidak dibangun dari pengamatan atau percobaan sebagai dunia nyata. Contoh yang lebih halus: untuk menunjukkan bahwa "semua bilangan real x lebih dari nol dan kurang dari 1, maka x^2 - x kan kurang dari 0" tidak cukup  hanya dengan menunjukkan bahwa simpulan "x^2 - x kurang dari 0" berlaku untuk beberapa bilangan x antara 0 dan 1.
Bila kita mengatakan x^2 - x < 0 untuk semua 0 < x < 1 untuk semua x karena untuk x = 0,5, x = 0,25 dan x = 0,1, nilai x^2 - x semuanya negatif, kita sudah membuat simpulan yang melompat (hasty generalization) (Susanto, 2015).

REFORMASI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Menurut Gravemeijer (2010) bahwa reformasi Pendidikan Matematika terletak pada dua pilar:
1. Kemampuan guru untuk mengkreasi sebuah budaya kelas berorientasi masalah dan mendorong siswa dalam pengajaran interaktif,
2. Mendesain aktivitas pembelajaran yang mengizinkan penemuan kembali matematika bersama dengan kemampuan guru untuk mendukung proses penemuan kembali.

Pendapat ini sangat cocok dengan pemodelan matematika, karena pemodelan matematika berfokus pada masalah (memecahkan masalah di luar matematika menggunakan matematika) --> Dalam pemodelan ini berperan sesuai fungsi dirinya sendiri (memodelkan dan memecahkan masalah dunia nyata (pada reformasi pilar pertama)
Pendapat ini juga sangat cocok dengan pilar kedua, yaitu pemodelan matematika sebagai kendaraan (vehicle) dalam pembelajaran matematika, yaitu mengkonstruk pengetahuan matematika (penemuan kembali konsep matematika), mulai dari dunia nyata, pre-informal, informal, pre-formal, sehingga pada akhirnya formal matematika. Di sini mengembangkan kemampuan matematisasi horizontal dalam PMRI (yaitu strukturisasi dan konstruksi masalah, yaitu membuat asumsi, pembatasan, memilih pendekatan dan menentukan variabel), kemampuan matematisasi vertikal (bekerja secara matematika untuk mendapatkan solusi matematika), menginterpretasi hasil, kemudian memvalidasi dan akhirnya merevisi atau melaporkan hasil. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika dengan PMRI (Pemodelan Matematika) tidak dimulai dengan definisi, contoh soal, dan latihan soal, tetapi dimulai konteks masalah yang menarik (fenomena yang menarik) kemudian siswa menyelesaikan masalah sehingga akan bermanfaat bagi siswa dalam mengembangkan kompetensi pemodelan dan menemukan kembali konsep matematika.

Gravemeijer, K. (2010). Realistic mathematics education theory as a guideline for problem-centered, interactive mathematics education. In Sembiring, K., Hoogland, K., & Dolk, M. A Decade of PMRI  in Indonesia. Bandung, Utrecht: Meppel.

PENULIS.

Senin, 30 Desember 2019

MATEMATIKA ITU BERGUNA DENGAN APLIKASI DAN PEMODELAN

Dalam Buku Susanto (2015) dinyatakan bahwa ada suatu pertanyaan, yaitu apa gunanya belajar matematika bila kita tahu kita tidak akan pernah menggunakannya? Susanto (2015) mencontohkan di UMass, Amherst semua mahasiswa ilmu sosial harus mengambil mata kuliah Kalkulus pada tahun pertama mereka. Kemudian ia menyatakan bahwa tentu saja banyak aplikasi matematika dalam disiplin ilmua sosial, termasuk untuk pemodelan matematikanya. Kemudian ditegaskannya lagi apakah sia-sia orang belajar matematika yang tidak ada hubungannya dengan matematika setelah lulus. Menurut Susanto (2015) bahwa jawabannya TIDAK. Alasannnya
1. Tidak ada mahasiswa yang tahu persis apakah dia tidak akan pernah memerlukan matematika pada masa datang,
2. Matematika adalah akal. Siapa pun orangnya, selama dia masih perlu memutuska sesuatu menggunakan akal rasionanya, maka sesungguhnya dia sedang memakai matematika.

Berdasarkan pendapat Susanto (2015) di atas menunjukkan bahwa banyak siswa/mahasiswa belum melihat secara langsung kegunaan matematika di bidang ilmu yang ia pelajari. Sehingga, pembelajaran pemodelan matematika perlu diberikan secara eksplisit di kelas matematika agar siswa bisa melihat secara langsung kegunaan matematika. Tantangan guru/dosen adalah bagaimana mendesain soal aplikasi dan pemodelan matematika yang berkualitas.


Susanto, H. (2015). Tuhan Pasti Ahli Matematika. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.

Minggu, 29 Desember 2019

PERBEDAAN SOAL MATEMATIKA BIASA, SOAL CERITA, SOAL APLIKASI DAN SOAL PEMODELAN

Berikut disajikan perbedaan mendasar soal matematika biasa, soal cerita, soal aplikasi dan soal pemodelan matematika.
1. Soal Matematika Biasa
Pembuat soal yang menentukan struktur soal sehingga menarik karena struktur matematika yang cantik. Solusinya bisa memiliki satu atau beberapa strategi. Struktur berpikir yang ketat. Kebenaran tidak bisa diuji dengan teknologi, laboratorium, kebenaran hanya berdasarkan logika dan kekonsistenan aturan-aturan yang ada dalam matematika. Soal Matematika secara Umum memiliki satu solusi (solusi tunggal) dan bersifat eksak.
Contoh: Hitunglah sin 18 (dalam derajat).

Untuk menyelesaikan soal ini hanya ada satu solusi (tunggal).

2. Soal Cerita
Soal cerita adalah soal matematika murni yang diberikan label yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Soal ini juga didesain oleh pembuat soal sesuai dengan struktur keindahan matematika. Soal cerita ini titik fokusnya untuk melatih penguasaan materi matemari matematika tertentu. Banyak solusinya tunggal. Konteks yang dipakai hanya diandaikan. Tingkat struktur matematikanya juga sudah diatur oleh pembuat soal. Ekspresi matematikanya juga dibuat sederhana agar bisa diselesaikan dengan cantik atau menarik. Fokusnya pada penguasaan materi matematika dan prosedurnya. Solusinya bersifat eksak.
Contoh: Chika membeli dua pena dan satu pensil seharga Rp 12.000 dan di toko yang sama Bambang membeli 3 pena dan 2 pensil seharga Rp 19.000. Berapa harga sebuah pena dan sebuah pensil di toko tersebut.

3. Soal Aplikasi
Soal aplikasi merupakan soal yang berfokus pada penggunaan topik matematika khusus dalam menyelesaikan masalah dunia nyata. Hal ini berakibat penyelesaian soal aplikasi memiliki satu solusi. Soal aplikasi bercirikan bahwa masalah dimulai dari matematika kemudian dicari penggunaan nyata dalam kehidupan sehingga ia fokus pada topik matematika tertentu dalam menyelesaikan masalah. Salah satu ciri soal aplikasi rules sudah diberikan. Pemecah masalah hanya tinggal melaksanakan operasi matematika yang ketat atau dengan kata lain pemecah soal tidak diberikan ruang untuk membuat asumsi atau pembatasan atau pemilihan dalam menyelesaikan masalah. Hal ini berakibat hanya ada satu solusi yang diperoleh. Dalam soal aplikasi konteksnya sangat penting dan saling berhubungan dengan topik matematika khusus. Solusi yang diperoleh adalah eksak atau hampiran.
Contoh: Seorang pengusaha pengalengan makanan ingin mengetahui ukuran tabung paling ekonomis. Ia menetapkan volume kaleng adalah 500ml. Berapa ukuran jari-jari dan tinggi tabung sehingga bahan yang digunakan untuk membuat kaleng minimum?

4. Soal Pemodelan Matematika
Soal Pemodelan Matematika merupakan soal yang berfokus pada bagaimana menyelesaikan masalah dunia nyata dengan menggunakan matematika yang tepat. Sehingga, soal pemodelan matematika materi atau topik matematika yang digunakan belum ditentukan. Pemodel harus menentukan sendiri topik matematika apa yang cocok untuk menyelesaikan masalah dunia nyata ini. Ciri soal pemodelan matematika itu adalah besar (big), messy (tidak terstruktur), sehingga menuntut pemecah masalah untuk berasumsi, memilih, membatasi, serta menentukan pendekatan yang cocok dalam menyelesaikan masalah. Solusi soal pemodelan  matematika bisa eksak dan bisa aproksimasi (hampiran). Konteks dan konten matematika sangat terjalin erat.
LEMA (2007) menggambarkan panduan untuk refleksi tentang soal, yaitu
1. Tentang konteks, yaitu a. apakah real? apakah otentik? atau dilebihkan atau dikurangkan dengan mengubah segmen realitas hanya tujuan tujuan didaktik? b. apakah menarik bagi siswa? apakah relevan dengan kehidupan mereka (sehari-hari, demokratis, kritikal, profesional, kehidupana)?
2. Tentang topik matematika, yaitu apakah ditentukan secara lengkap? apakah mungkin menggunakan topim matematika yang lain (biasanya mengandung topik matematika berbeda)?
3. Tentang harapan solusi, a. berapa banyak solusi diharapkan? b. bagaimana bentuk solusi diharapkan? sebuah bilangan, sebuah ukuran, sebuah grafik, sebuah ekspresi aljabar, sebuah diagram?
c. sejauh mana pentingnya hubungan antara solusi didapat dan titik awal?
4. Tentang aktivitas pemecah masalah, yaitu apakah dia diharapkan untuk menampilkan sebuah prosedur dalam lanjutan sebagai "cara optimal" menyelesaikan soal? Atau dia diharapkan mengeksplorasi situasi, membangun cara kerja berbeda, untuk mencari pertanyaan baru, untuk menginterpretasi dan memvalidasi solusinya?
Contoh soal pemodelan matematika: Bagaimana menentukan biaya PDAM dari bulan ke bulan dalam satu tahun pada rumah tangga sederhana?

Demikian, sekilas tentang perbedaan Soal Matematika, Soal Cerita, Soal Aplikasi dan Soal Pemodelan Matematika.
Penulis.

Sabtu, 28 Desember 2019

JANGAN SALAH KONSEP TENTANG MODEL DAN PEMODELAN MATEMATIKA


Konsep model dan pemodelan matematika

Model Matematika
Model matematika adalah representasi matematika dari skenario dunia nyata, dan bukan sebaliknya (Gould, 2013). Manipulasi fisik adalah bukan model matematika dan dari literatur dan ahli tidak ada kesepakatan apakah model matematika atau bukan skala peta dari daerah. Model matematika bukanlah representasi yang mempunyai kuantitas matematika. Arah representasi antara objek dunia nyata dan matematika adalah relevan dalam membedakan model matematika dari model fisik. Model matematika tidak harus penyederhanaan sebuah representasi dengan kuantitas matematika, model matematika harus sebuah representasi matematika dari situasi dunia nyata.
Pemodelan Matematika
Situasi pemodelan matematika harus berasal dari skenario dunia nyata. Ini berarti skenario yang bukan dari dunia nyata (tidak realistik, yang aneh/ganjil) bukan masalah pemodelan. Asumsi, dan pemilihan selalu dibuat dalam proses pemodelan matematika. Langkah perulangan, revisi, dan checking adalah ciri dari proses pemodelan. Hasil dari proses pemodelan boleh eksak atau aproksimasi.

Jumat, 27 Desember 2019

PMRI SEBAGAI PAYUNG (UMBRELLA) PEMODELAN MATEMATIKA

Perspektif Pemodelan Matematika dalam Pengajaran dan Pembelajaran Matematika
Pemodelan Matematika dalam Penelitian ini Menggunakan Perpektif berikut ini
Penelitian ini menggunakan PMRI sebagai payung (umbrella) dalam mendesain soal Pemodelan Matematika
1.        Pemodelan Matematika: Perspektif Soail-Kritikal
1.2  Nilai Pemodelan Matematika
Pendekatan pemodelan matematika untuk pengajaran mengizinkan untuk jenis nilai eksplorasi dalam matematika yang tidak ada sampai sekarang. Zbiek dan  Conner (2006) menggambarkan tujuan dari pemodelan matematika adalah untuk
a.       Menyediakan siswa untuk mendesain kekuatan model,
b.      Menyediakan mereka dengan alternatif dan mengajar pengaturan yang mana siswa belajar
c.       Memotivasi siswa dengan menunjukkan mereka keaplikasian dunia nyata, dan
d.      Menyediakan mereka dengan kesempata untuk mengintegrasikan matematika dengan area lain dari kurikulum
1.3  Tujuan Pendidikan
Pemodelan matematika menjadikan pembelajaran lebih bermakna (Knott, 2014). Ini berimplikasi untuk memotivasi dan positif dalam kelas matematika (Blum, 1993). Ketika matematika dihubungkan dengan realitas, ia menyediakan pengalaman yang relevan dengan pengalaman siswa dan relevan dengan masyarakat (Van den Hauvel-Panhuizen & Wijers, 2005). Pemodelan matematika adalah sebuah awal dari pentingnya tujuan pendidikan.
2.        Pemodelan Matematika: Perspektif Kontekstual
Dalam area kehidupan, kita dihadapkan dengan tantangan baru (Knott, 2014). Area luar matematika berhubungan dengan sains atau konteks dimana matematika dapat diterapkan. Pembelajaran matematika harus ditekankan dengan fleksibel dan tidak masalah matematika spesifik (Brown, 2008; Kaiser & Schwarz, 2006). Menurut Knott (2014) bahwa hasil dari bentukan ketika masalah spesifik matematika diajarkan akan menjadi peniru teori matematika bukannya pemikir matematika yang sangat dibutuhkan.
3.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Pendidikan
3.1     Fokus kembali pendidikan matematika
Knott (2014) menyatakan bahwa pendidikan matematika di sekolah harus difokuskan pada desain holistik pengajaran dan pembelajaran: sebuah desain berdasarkan pada perspektif berbeda untuk menemukan standar pengajaran siswa yang mempunyai pengalaman matematika berbeda dan mempunyai kemampuan matematika berbeda.
3.2     Pengaruh pada Afektif
Pembelajaran pemodelan matematika akan berpengaruh terhadap afektif seperti sikap, keyakinan, emosi, nilai, motivasi, perasaan, suasana hati, konsepsi, ketertarikan, kecemasan, dan pandangan.
3.3  Pemodelan Didaktik
Kemampuan memecahkan masalah matematika lebih berharga mempunyai pengetahun tetapi kurang kompetensi untuk menerapkan pengetahuan itu (Knott, 2014). Jika siswa diperkenalkan dengan konsep baru, pengembangan konsepnya didasarkan pada pengalaman matematika mirip sebelumnya.
3.4  Pemodelan Konseptual
Konsep pemodelan matematika mempunyai keuntungan tidak hanya mengembangkan dan mengkonstruk pengetahuan matematika, tetapi jugamengembangkan keterampilan dan berpikir matematika. Pemodelan matematika di level pembentukan konsep meliputi pembelejaran aktual dan pemahaman matematika dengan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai (Knott, 2014).
3.5  Proses Pemodelan Matematika
Siklus pemodelan matematika dari perspektif kognitif digunakan untuk penjelasan lanjutan proses pemodelan dari masalah dunia nyata ke interpretasi solusi. Ini memberikan sebuah tampilan jelas dari semua kompetensi dan sub-kompetensi penting selama siklus pemodelan.
3.6  Kompetensi Pemodelan Matematika
Kompetensi pemodelan matematika meliputi keterampilan dan pengetahuan dipandang penting ketika bekerja melalui semua langkah dalam proses pemodelan (Blomhoj, & Kjeldsen, 2006).
3.7  Melihat lebih dekat Kompetensi Pemodelan Matematika
Untuk membuat penggunaan proses pemodelan secara sukses penuh sub-kompetensi membutuhkan untuk dikembangkan.
4.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Kognitif
4.1.   Proses Kognitif selama Pemodelan Matematika
Pendekatan Pemodelan matematika meningkatkan pemahaman (sense making) (Mousolulides, 2009). Masalah Pemodelan matematika mempromosikan pemahaman sehingga menumbuhkan pemahman, sehingga tidak ada mengingat jawaban dan tidak ada solusi “benar”.
4.2.   Pengembangan Konseptual
Struktur kognitif dalam pemikiran manusia diasosiasikan dengan gambaran konsep dimana adalah semua representasi mental itudan proses mengenai konsep (Tall, 1988). Menurut Tall (1988) bahwa ketika siswa menemukan sebuah konsep lama dalam sebuah konteks baru, itu adalah gambaran konsep dengan semua asumsinya dan bukan definisi konsep yang mempengaruhi soal/tugas baru.
4.3.   Sistem Konseptual
Sfard & Linchevski (1994) menyatakan bahwa kesulitan pengalaman seorang ketikaa dia diperkenalkan sebuah konsep matematika baru. Ini diketahui sebagai kemampuan memverifikasi. Melalui reifikasi (proses memverifikasi) pembelajaran lebih bermakna dan proses mendapatkan lebih cepat (Knott, 2014). Ketika siswa tidak mengerti, itu berarti dia tidak memverifikasi. Proses memverifikasi (reifikasi) adalah ketika seorang pelajar mengubah objek abstrak menjadi objek konkret.
4.4.   Berpikir Matematika Lanjutan
Siswa seharusnya membangun berpikir matematika informal untuk mengambangkan berpikir matematika formal (Knott, 2014).    
5.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Sosial-Budaya
Fokus pada representasi eksternal dan internal yang dipengaruhi oleh budaya ketika siswa do mathematics. Representasi internal meliputi representasi mental dan komputasi (Hesselbart, 2007). Goldin (2002) menyatakan bahasa asli, simbol pribadi, gambaran visual dan spasial, heuristik pemecahan masalah dan afektif sebagai representasi internal dari seorang siswa yang menyelesaikan masalah matematika. representasi Semiotik adalah representasi eksternal digunakan untuk mengakses objek matematika (Duval, 1999). Representasi eksternal dapat mempunyai beberapa tujuan untuk menyimbolkan representasi internal (Goldin, 2002). Dalam pemodelan matematika, ketika siswa mengubah dari representasi semiotik (representasi informasi sebagai objek/simbol menggunakan pengetahuan budaya) untuk bekerja dengan simbol (membuat simbol-simbol ini ke dalam istilah matematika menggunakan strategi reflektif) objektifikasi mengambil tempat.
6.        Pemodelan Matematika: Perspektif Realistik
Pembelajaran menjadi pengalaman bermakna ketika siswa bergulat dengan masalah tidak familiar dan tak terbatas. Pendekatan PMRI, siswa didorong dalam beberapa masalah realistik yang menyediakan mereka kesempatan untuk membuat konstruksi/model matematika dengan penemuan kembali mereka (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000). Pentingnya pemodelan matematika dalam kurikulum matematika adalah untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan sikap (Danusso, et al., 2009).
7.        Pemodelan Matematika: Sebuah Perspektif Epistemologi
7.1.   Membangun Model
Tujuan model adalah untuk menjembatani gap antara level pemahaman berbeda. Van den Heuvel-Panhuizen (2003) menunjukkan bahwa model dapat mengakomodasi munculnya level: dari level informal matematika ke level formal matematika.
7.2.   Pemodelan Emergent
Pemodelan emergent adalah proses dinamik dimana model emergen untuk mendukung emergensi pengetahuan matematika formal (Doorman & Gravemeijer, 2009).
7.3.   Alam Matematisasi
Desain pengajaran PMRI diorganisasikan sehingga siswa dapat mengorganisasi materi pelajaran di satu level untuk menghasilkan pemahaman baru di sebuah level lebih tinggi (Kwon, 2015).
7.4.   Pendefinisian Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Matematisasi horizontal dan vertikal tidak dapat dipisahkan, mereka memiliki proses berbeda. Matematisasi horizontal adalah penyeberangan antara situasi dunia nyata dan model matematika dari situasi. Treffers menggambarkan matematisasi horizontal sebagai “berangkat dari dunia nyata/kehidupan ke dunia simbol (Van den Heuvel-Panhuizen, 2003). Sedangkan matematika vertikal adalah proses menemukan solusi matematika dari model matematika yang dikonstruk selama fase matematisasi horizintal (Knott, 2014). Traffers menggambarkan matematisasi vertikal sebagai “bergerak di dalam dunia simbol” (Van den Heuvel-Panhuizen, 2003).
7.5.   Pengembangan Kompetensi Matematisasi
Langkah pertama dari proses pemodelan adalah mengeksplorasi situasi nyata dan mengidentifikasi syarat dan asumsi dalam konteks dunia nyata, sehingga beberapa batasan dan pembatasan dinyatakan (Knott, 2014). Sub-kompetensi berhubungan matematisasi horizontal adalah: membuat asumsi pada masalah dan menyederhanakan situasi, mengidentifikasi kuantitas yang berpengaruh pada situasi, menamai mereka, dan mengidentifikasi variabel kunci, mengkonstruk hubungan antara variabel, mencari informasi tersedia, dan membedakan matematika relevan dan tidak relevan. Kompetensi dan subkompetensi matematisasi vertikal adalah melakukan dengan kompetensi menyelesaikan pertanyaan matematika dalam model matematika. Kompetensi ini dalam proses pemodelan matematika difokuskan pada aktivitas ketika siswa menggunakan heuristic strategies.
7.6.   Model untuk Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Pengembangan pengetahuan terjadi selama transisi dari “model of” ke situasi lebih umum “model for”. Progresnya adalah dari level pre-informal, ke informal, , ke pre-formal, dan akhirnya ke lebih formal.

Perspektif Tujuan Pemodelan Matematika
Berbagai perspektif tujuan aplikasi dan pemodelan (Kaiser, 2014), yaitu
1. Tujuan pedagogis: memberikan kemampuan yang memungkinkan siswa untuk memahami aspek-aspek utama dari dunia kita dengan cara yang lebih baik.
2.Tujuan psikologis: membina dan meningkatkan motivasi dan sikap peserta didik menuju matematika dan pengajaran matematika
3. Sasaran terkait mata pelajaran: penataan proses pembelajaran, pengenalan matematika  konsep dan metode baru termasuk ilustrasinya
4. Sasaran yang berhubungan dengan sains: memberikan citra matematika yang realistis sebagai sains, memberikan wawasan tentang tumpang tindih pertimbangan matematis dan ekstra matematis dari perkembangan historis matematika.

Dua Pendekatan untuk mengembangkan Kompetensi Pemodelan Matematika
Dua pendekatan berbeda dalam memupuk kompetensi pemodelan matematika dapat dibedakan: pendekatan holistik dan atomistik (Blomhøj dan Jensen 2003). Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa pengembangan kompetensi pemodelan harus dipupuk dengan melakukan proses pemodelan matematika yang lengkap, di mana kompleksitas dan kesulitan masalah harus disesuaikan dengan kompetensi peserta didik. Pendekatan atomistik, bagaimanapun, mengasumsikan bahwa implementasi masalah pemodelan lengkap, terutama di awal, akan terlalu memakan waktu dan tidak cukup efektif dalam mengembangkan kompetensi pemodelan individu. 

Blomhøj M, Jensen TH (2003) Developing mathematical modeling competence: conceptual clarification and educational planning. Teach Math Appl, 22(3), 123–139

Rabu, 25 Desember 2019

MATEMATIKA, METAMATIKA, DAN MATEMATISME


Berikut ini adalah Istilah-istilah, seperti matematika, metamatika, dan matematisme yang diambil dari artikel Tarp (2009)

Matematika Versus Metamatika
Pencerahan mendefinisikan sebuah konsep sebagai sebuah abstraksi dari contoh à Matematika
Definisi berbasis himpunan modern mendefinisikan sebuah konsep sebagai sebuah contoh dari sebuah abstraksi à Metamatika
Kita dapat memperkenalkan istilah “hukum matematika” abstraksi dari contoh à matematika versus “metamatika berbasis himpunan” contoh dari abstraksi, dan dengan pembuktian pernyataannya sebagai deduksi dari aksioma meta-fisika menjadi secara keseluruhan merujuk pada dirinya sendiri tidak membutuhkan dunia luar (inilah disebut metamatika)
Matematika dapat didefinisikan melalui abstraksi di dalam sebuah cara bermakna dan tidak kontroversial.

Matematika versus Matematisme
Secara tradisional 2 + 3 = 5 dan 2 ´ 3 = 6 adalah pernyataan benar universal. Pernyataan ini adalah sebuah contoh ‘matematisme’ benar di perpustakaan, tetapi tidak di laboratorium. Sehingga ini tidak dapat memprediksi situasi dunia nyata. Sehingga, menutupi alternatif aslinya “penerapan kembali matematika” berasal di dalam contoh dunia nyata. Kata “penerapan matematika” dinyatakan sebagai pembuktian dirinya sendiri yang “tentu saja matematika harus diajarkan dan dipelajari sebelum itu dapat diterapkan”, sehingga ini menutupi matematika secara sejarahnya berasal dari dunia nyata sebagai sebuah model.
Tetapi untuk  fakta 2 3 dapat dihtung sebagai 6. Ini adalah matematika, sebagai contoh 2 minggu + 3 hari = 17 hari. 
Sebuah hukum pendekatan akan sesuai sejarah asli matematika sebagai sebuah ilmu alam berasal dalam beberapa fakta fisik. Di sini matematika dikreasi melalui asal dunia nyatanya dan kemudian diterapkan kembali untuk situasi yang sama.



Tarp, A. (2009). Applying Pastoral Metamatism or re-applying Grounded Mathematics. In Blomhoj, M., Carreira, S. Mathematical Modelling in Teaching and Learning of Mathematics. Mexico: IMFUFA tekst

PENTINGNYA MENTRANSFORMASI SOAL MATEMATIKA BIASA MENJADI APLIKASI DAN PEMODELAN MATEMATIKA

Beberapa masalah disajikan di buku teks  tidak diarahkan kepada pendidikan matematika dapat diaplikasikan tetapi beberapa masalah ini dapat diadaptasi untuk menggunakan di dalam kelas pendidikan matematika dapat diaplikasikan (Maabet al., 2018).

Dalam pandangan Maab, dkk (2018) bahwa memungkinkan sesuatu untuk melakukan memulai di level awal (sejak dini), dan di langkah kecil, untuk memasukkan realitas ke dalam pendidikan matematika menggunakan teks dengan konten matematika. Pendekatan ini menyediakan kesempatan untuk mempelajari dan melatih bersama bagaimana mengekstrak informasi dibutuhkan dan menganalisisnya sesuai prinsip matematika, sehingga menyediakan basis untuk keputusan kita.


Situasi yang didapatkan lebih menantang ketika masalah ditulis secara pokok sebagai teks. Mengkreasi/menciptakan soal/masalah matematika adalah sebuah tugas menantang, khususnya jika Anda fokus pada penilaian tertentu fakta, pengetahuan atau keterampilan yang Anda putuskan selanjutnya. Maab, et al. (2018) meskipun semua tantangan ini, kami tetap mendorong dan memungkinkan Anda untuk menggunakan tipe soal/masalah baru yang cocok dengan pendidikan matematika dapat diaplikasikan. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran pemodelan matematika adalah menantang dan dapat ditampilkan dalam bentuk gambar atau teks yang otentik.

Maab, dkk (2018) apakah ada syarat tambahan untuk pengajaran matematika efektif? Apakah tentang mengeksplorasi hubungan antara matematika dan dunia nyata untuk membuat matematika lebih berguna, menarik dan dapat diakses?. Ini mengindikasikan bahwa pembelajaran aplikasi dan pemodelan matematika adalah pembelajaran yang efektif.


PERANAN KONTEKS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Berdasarkan kajian literatur Jurnal Internasional, Buku dan Artikel lainnya Peneliti memberikan simpulan. 
Beberapa peranan konteks dalam pendidikan matematika.
1.      Mempermudah siswa dalam memahami konten matematika (karena matematika itu adalah bersifat abstrak, maknanya kosong, sistem aksiomatik deduktif, matematika boleh tidak dihubungkan dengan dunia nyata karena kebenarannya tidak tergantung pada dunia nyata tetapi ini tidak cocok bagi siswa di level bawah karena sulit bagi siswa)
2.      Sebagai arena aplikasi dan pemodelan matematika atau konten matematika di dunia nyata. Ini menunjukkan bahwa konten matematika itu bisa dipakai di dunia nyata. Sehingga siswa memiliki opini bahwa matematika bisa dipakai di dunia nyata. Satu konten matematika bisa dipakai menyelesaikan beberapa konteks masalah.
3. Sebagai sarana atau alat untuk memecahkan masalah dunia nyata. Hal ini memungkinkan siswa memiliki pengalaman menyelesaikan masalah dunia nyata menggunakan matematika. Satu masalah bisa diselesaikan dengan beberapa konten matematika.

Senin, 16 Desember 2019

LEVEL PENGALAMAN PEMODELAN MATEMATIKA

Ang (2015) menyatakan level Pengalaman Pembelajaran Pemodelan
1.      Level 1: Level Dasar
a.       Fokus adalah pada memperoleh keterampilan yang secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan pemodelan matematika
b.      Ini dapat mempresentasikan keterampilan matematika secara murni dalam konteks pemodelan
c.       Lesson: fungsi khusu dan grafiknya diterapkan pada masalah dunia nyata.
d.      Aktivitas pemodelan dapat pada lesson curve fitting menggunakan komputer atau alat IT.
e.       Cukup 1 atau 2 perode.
2.      Level 2:
a.       Fokus akan pada pengembangan kompetensi pemodelan
b.      Kompetensi pemodelan yang ada pada siklus pemodelan seperti membuat asumsi, identifikasi faktor yang berpengaruh pada variabel terikat, atau interpretasi solusi matematika dalam dunia fisik.
c.       Lesson dapat belajar dan menerapkan pengetahuan, keberadaan atau model standar untuk dunia nyata, situasi fisik.
d.      Kompetensi pemodelan di sini adalah kemampuan mengenal tingkah laku model (atau sebuah fungsi matematika atau persamaan yang dapat secara potensial menjadi model) dan menggunakannya dalam masalah dunia nyata.
3.      Level 3:
a.       Siswa diharapkan untuk menangani soal pemodelan matematika.
b.      Kompleks dan akan menuntut siswa menerapkan beberapa keterampilan pemodelan dan mengizinkan mereka untuk mengembangkan lebih lanjut kompetensi pemodelan mereka.
c.       Bekerja dalam kelompok, diskusi, mengembangkan model, menyelesaikan model, dan membuat presentasi.
                  d.   Modeling Tasks

Pentingnya mendesain soal dalam Pembelajaran Matematika


Perubahan sekarang dalam sistem pendidikan dan trend dalam pendidikan matematika menginginkan perubahan  prinsip desain. Trend dalam pendidikan yang dihubungkan dengan desain soal adalah, permulaan menunjukkan sebuah peningkatan fokus padainterdisiplin dan latihan otentik. Mencoba menghubungkan dengan lebih baik pendidikan matematika dengan mata pelajaran lain seperti fisika, biologi, dan ekonomi mensyaratkan perubahan peranan konteks dan jembatan konteks (Watson, et al., 2015).
Ada kebutuhan untuk penelitian selanjutnya yang menggunakan metode alternatif untuk memahami perepektif siswa secara penuh, khususnya dalam konteks desain soal inovatif dan  menekankan pentingnya penggunaan konteks (Watson, et al., 2015).
 Menurut Watson, et al., (2015) isu-isu yang dihubungkan dengan motivasi, tujuan terdiri dari
1.      Siswa menyenangi matematika yang mereka pelajari
2.      Siswa melihat kegunaan matematika bagi mereka
3.      Siswa dapat menginterpretasi secara dunia matematika
4.      Siswa melihat koneksi antara pembelajaran matematika dan studi dan karir mereka ke depan.
 Ada kebutuhan penelitian lanjutan yang menggunakan metode alternatif untuk mengerti perspektif siswa lebih penuh, khususnya dalam konteks desain soal (Watson, et al.,2015).

PENDIDIKAN 1.0, 2.0, 3.0, DAN 4.0

Makrides (2019) membedakan pendidikan 1.0 sampai 4.0 sebagai berikut
Pendidikan 1.0 memiliki ciri
1.      Otoriter
2.      Siswa adalah penerima pasif
3.      Sistem berpusat pada guru – guru memberikan pengetahuan sebagai pemimpin absolut di dalam kelas
4.      Teknologi adalah terlarang dalam kelas
Pendidikan 2.0 memiliki ciri
1.      Komunikasi dan kolaborasi adalah permulaan untuk tumbuh
2.      Pendekatan berbasis ujian – hasil adalah ujian mengingat pengetahuan
3.      Sebuah pengabaian pendekatan berpusat siswa, kita mengatakannya tetapi tidak menerapkannya
4.      Beberapa orang berpikir mereka berhenti mengatakan tentang pengajaran dan mereka mengatakan pembelajaran dan capaian pembelajaran tetapi mereka tetap pada kertas
5.      Sekolah adalah tetap mengatakan tentang jam mengajar tetapi seharusnya kita mengatakan tentang jam pembelajaran
6.      Penyerbuan teknologi dan jaringan sosial
7.      Kita menerapkan teknologi di kelas sebagai sebuah kecenderungan indikator, tetapi kelas berlangsung untuk mempunyai beberapa struktur
8.      Kekeliruan lengkap – siswa mengetahui teknologi lebih baik daripada guru
9.      Tidak ada desain untuk apa digunakan dan apa tidak digunakan
10.  Beberapa pilihan, tidak ada uang untuk membeli dan menerapkan, tidak ada koordinasi korelasi teknologi dengan kurikulum, sistem tidak dapat dengan menguasai mengikuti evolusi teknologi, tidak ada pelatihan guru, data ada dimana-mana, Pencarian Google lebih cepat dari perpustakaan tradisional, we mengetahui lebih daripada guru.
11.  Teman sekelas berkomunikasi lebih cepat dan cerdas secara elektronik, mereka berkolaborasi pada perencanaan
12.  Siswa memberikan pengetahuan teknik untuk guru mereka
Pendidikan 3.0 memiliki ciri
1.      Pendekatan berpusat siswa
2.      Guru ditransformasi sebagai seorang koordinator/fasilitator, penasehat, pembelajar dan bimbingan praktis
3.      Siswa meneliti
4.      Metode flipp classroom diterapkan
5.      Lebih berdialog, teknologi dimana-mana, siswa belajar mandiri dan dimana saja
6.      gaya kelas klasikal keberadaannya tidak lama
7.      RPP adalah sekarang disebut rencana pembelajaran
Pendidikan 4.0 memiliki ciri
1.      Kreasi dan inovasi bersama adalah pusat
2.      Kapanpun dan dimanapun
Flipped classroom diterapkan
Latihan praktis interaktif – face-to-face.
3.      Pengembangan pengajaran dan pembelajaran individual
4.      RPP adalah sekarang disebut perencanaan kreativitas
5.      Teknologi
Gratis atau/dan dengan mudah dapat diakses
Meningkat penggunaan virtual reality
Berlangsung evolusi dan inovasi dan sehingga sebuah kebutuhan untuk melanjutkan pelatihan dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan baru oleh semua.

Makrides, G.A. (2019). The Evolution of Education fro Education 1.0 to Education 4.0: Is it an evolution or a revolution?. Thales Foundation.


Pendidikan 4.0 adalah respons terhadap kebutuhan Revolusi Industri 4.0 di mana manusia dan teknologi diselaraskan untuk memperoleh kemungkinan-kemungkinan baru (Hussin, 2018). Fisk (2017) menjelaskan bahwa visi pembelajaran yang baru mendorong peserta didik untuk belajar tidak hanya keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan tetapi juga untuk mengidentifikasi sumber untuk mempelajari keterampilan dan pengetahuan ini.
Ada sembilan tren terkait dengan Pendidikan 4.0 (Fisk, 2017).
Pertama, pembelajaran dapat dilakukan kapan saja di mana saja. Pendekatan Flipped classroom juga memainkan sebuah peran besar karena memungkinkan pembelajaran interaktif dilakukan di kelas, sedangkan bagian-bagian teoretis dipelajari di luar waktu kelas.

Kedua, pembelajaran akan disesuaikan untuk setiap siswa.

Ketiga, siswa memiliki pilihan dalam menentukan bagaimana mereka ingin belajar.

Keempat, siswa akan lebih banyak belajar berbasis proyek. Siswa diminta untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam menyelesaikan beberapa proyek jangka pendek.

Kelima, siswa akan lebih terpapar pembelajaran langsung melalui pengalaman lapangan seperti magang, proyek bimbingan dan proyek kolaborasi.

Keenam, siswa akan dihadapkan pada interpretasi data di mana mereka diminta untuk menerapkan pengetahuan teoretis mereka pada angka dan menggunakan keterampilan penalaran mereka untuk membuat kesimpulan berdasarkan logika dan tren dari set data yang diberikan.

Ketujuh, siswa akan dinilai secara berbeda dan platform konvensional untuk menilai siswa mungkin menjadi tidak relevan atau tidak memadai.

Kedelapan, pendapat siswa akan dipertimbangkan dalam merancang dan memperbarui kurikulum.
Terakhir, siswa akan menjadi lebih mandiri dalam pembelajaran mereka sendiri, sehingga memaksa guru untuk mengambil peran baru sebagai fasilitator yang akan membimbing siswa melalui proses belajar mereka.

Fisk, P. (2017).  Education 4.0 … the future of learning will be dramatically different, in school and throughout life. Retrieved from http://www.thegeniusworks.com/2017/01/future-education-young-everyone-taught-together
Hussin, A.A. (2018). Education 4.0 Made Simple: Ideas For Teaching. International Journal of Education & Literacy Studies. 6(3), 92-98.